Institusion
Universitas Bangka Belitung
Author
Sieanta Pratama, (NIM. 5011711036)
Subject
HM Sociology
Datestamp
2024-09-04 04:59:16
Abstract :
Permasalahan pengakuan identitas Tionghoa Muslim pada komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) menjadi latar belakang negosiasi perjuangan untuk pengakuan. Pada satu sisi, Tionghoa Muslim terikat dengan budaya Tionghoa dan di sisi lain dengan ajaran Islam. Tionghoa Muslim menghadapi diskriminasi dan melakukan negosiasi identitas agar dapat diterima dalam komunitas Tionghoa. Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana proses negosiasi identitas Tionghoa Muslim dan respon apa saja yang diterima oleh Tionghoa Muslim. Adapun teori yang digunakan adalah perjuangan untuk pengakuan dari Axel Honneth, dan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini menemukan dua hal penting. Pertama, yang melatarbelakangi negosiasi Tionghoa Muslim adalah pemahaman akan diskriminasi atas identitas pribadi yang dimiliki, sehingga negosiasi tersebut dilakukan dalam ruang-ruang negosiasi fleksibel maupun mutlak. Ruang negosiasi fleksibel yang dimaksud adalah negosiasi tradisi dan bahasa yang bisa dilakukan Tionghoa Muslim tanpa menyimpang dari ajaran agama Islam, sedangkan ruang negosiasi mutlak adalah negosiasi simbol, penggunaan simbol yang tidak bisa dilakukan Tionghoa Muslim karena bertentangan dengan ajaran agama Islam. Negosiasi identitas selalu berhasil dengan memperhatikan level-level penerimaan yang memerlukan waktu tertentu. Kedua, keberhasilan negosiasi diklasifikasikan berdasarkan tiga wilayah pengakuan menurut Axel Honneth: pengakuan cinta, pengakuan hukum, dan pengakuan solidaritas. Tiga wilayah pengakuan ini adalah bentuk respon yang didapatkan oleh Tionghoa Muslim pada komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Tionghoa Muslim memandang bahwa respon berupa pengakuan cinta adalah kunci untuk memperoleh dua pengakuan lainnya dengan lebih mudah. Dengan berhasilnya negosiasi identitas dan ditandai dengan respon tiga wilayah pengakuan tersebut, Tionghoa Muslim mendapatkan kembali kebebasan penuh untuk memperoleh afeksi, hak otonomi dalam beribadah, dan hak untuk menunjukkan keunikan diri serta kontribusi mereka dalam masyarakat. Penelitian ini memberikan kontribusi teoretis dalam pemahaman tentang negosiasi identitas Tionghoa Muslim dan manfaat praktis bagi masyarakat umum dan pemerintah dalam upaya membina lingkungan masyarakat yang harmonis.