Abstract :
Hukum acara pidana positif di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP. Hukum formil ini mengatur bagaimana pejabat penegak
hukum dalam melaksanakan pengakkan hukum material. Salah satunya mengatur
tentang alat bukti sah dalam perkara pidana yang tercantum dalam Pasal 184
KUHAP. Keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti adalah dimana saksi
hadir secara fisik ·kedalam ruang sidang dan Hakim memandang dengan sebaikbaiknya
saksi dalam Pasal 160 ayat 1a. Namun dalam prakteknya ada beberapa
kasus yang dalam memberikan keterangan saksi menggunakan teleconference,
sehingga saksi tidak hadir dalam ruang sidang secara fisik, namun secara virtual.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah kesaksian melalui
teleconference sesuai dengan Pasal 160 ayat (1) dan juga dasar hukum Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengutus perkara tersebut mengijinkan kesaksian
melalui media teleconference. Oleh karenanya penulis ingin merumuskan masalah
penelitian skripsi ini pada hal-hal, pertama: sahnya penggunaan teleconference
sebagai alat bukti keterangan saksi dalam persidangan, dan kedua: dasar
pertimbangan hakim yang mengijinkan penggunaan teknologi tersebut. Metode
penelitian menggunakan metode yuridis normatif. Diatur dalam Pasal 160 ayat (1)
dimana saksi harus hadir diruang sidangjika akan memberikan keterangan. Dalam
kasus Abu Bakar Baasyir, kasus yang diangkat dalam skripsi ini adalah
keterangan saksi yang diucapkan melalui teleconference, dimana saksi tidak hadir
dalam ruang sidang. Namun dalam perkara Abu Bakar Baasyir No.
148/Pid.B/2011 PN.Jkt.Sel., saksi memberikan keterangan melalui teleconference.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kesaksian melalui teleconference bisa sesuai
atau bisa tidak sesuai dengan Pasal 160 ayat ( 1) KUHAP karena saksi tidak hadir
dan berhadapan langsung dengan Hakim dan dipandang dengan sebaik-baiknya.
Dan Hakim mengijinkan kesaksian melalui teleconference antara dengan
menggunakan Pasal 33 jo. Pasal 34 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Pasal 2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pemeriksaan Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme Pasal,
yang menurut penulis, pasal-pasal tersebut tidak mencantumkan sistem elektronik
atau teleconference. Oleh karena itu, sekiranya pemerintah membuat undangundang
tentang teleconference agar teleconference dapat digunakan secara meluas
demi perkembangan hukum di Indonesia tanpa menimbulkan intimidasi dan
memiliki kekuatan hukum yang tetap.