Abstract :
Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung
pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana formil maka KUHAP telah
merniliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Dalam perkembangannya, seringkali
muncul penggunaan Saksi Mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. KUHAP
dan penjelasannya tidak mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang
Saksi Mahkota. N amun dernikian, ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP merupakan
dasar pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Pada awalnya, penggunaan Saksi
Mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan karena d.idasarkan pada
alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya terhadap
perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk memenuhi rasa
keadiian pubiik. Penggunaan Saksi Mahkota sebagai aiat bukti daiam perkara pidana
tidak d.ibolehkan apabila bertentangan dengan hak asasi terdakwa. Sebagai instrurnen
hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights instrumen
hak asasi manusia intemasional termasuk sebagai instrurnen penilaian terhadap
implementasi prinsip-prinsip fair trial.
Keterangan Saksi Mahkota dengan terdakwa I saksi pada suatu perkara pidana
dalam kaitannya dengan pasal 184 KUHAP mencetuskan permasalahan: bagaimana
pemecahan (splitsing) atas perkara memiliki kekuatan atas suatu perkara pidana dan
bagaimana kekuatan mengikat atas keterangan Saksi Mahkota pada suatu perkara
d.itinjau dari aspek pemenuhan rasa kead.ilan bagi pihak korban dan hak asasi
manusia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yurid.is normatif.
Hasil analisis dan pembahasan d.iperoleh kesimpulan bahwa KUHAP dan
pe~elasannya tidak mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang Saksi
Mahkota. Ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar pengaturan bagi
Saksi Mahkota. Penggunaan a1at bukti Saksi Mahkota hanya dapat diiihat daiam
perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah
dilakukan pemisahan (splitstng) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat
penyidikan. Penggunaan Saksi Mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana
dibolehkan karena d.idasarkan pada alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti
yang diajukan, khususnya terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan
juga alasan untuk memenuhi rasa keadilan publik. Dalam perkembangannya, maka
penggunaan Saksi Mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak d.ibolehkan
dengan pertimbangan karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana
d.iatur dalam ketentuan KUHAP sebagai instrumen hulllJll nasional dan ICCPR
sebagai instrumen hak asasi manusia intemasional. Kendala yang timbul dari adanya
Saksi Mahkota di depan persidangan adalah adanya keinginan untuk mcngungkapkan
kebenaran material suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa, terlebih lagi
terhadap tindak pidana yang relatif cukup sulit pembuktiannya, namun di sisi Iainnya
penerapan jenis saksi ini akan berbenturan dengan aspek teoretik di mana pengaturan
"saksi mahkota" tidak ada diatur secara tegas dalam KUHAP.