Abstract :
Perkelahian massal sebagai suatu gejala atas adanya masalah sosial
memiliki ciri khusus dan tersendiri . Diketahui bahwa dalam perkelahian massal
terdapat beberapa karakteristik yang unik dan berbeda dari gejala sosial lainnya.
Perkelahian massal juga sekaligus merupakan sebuah tindakan yang dapat
mengancam ketertiban umum, dikarenakan dalam perkelahian massal terdapat
sebuah tindakan kolektif yang bersifat destruktif (merusak). Dari sutlut
kriminologi terdapat beberapa teori yang dapat menj elaskan keunikan dari
perkelahian massal tersebut, diantaranya dijelaskan bahwa perkelahian massal
bukanlah suatu bentuk perkelahian biasa yang tetjadi secara spontan tanpa adanya
faktor-faktor kumulatif (nilai tambah) terlebih dahulu.Terjadinya
tawuran!perkelahian massal di lingkungan kampus memiliki perbedaan yang
sangat tajam diantara kasus-kasus tawuran lain di luar kampus. Perbedaan ini
terlihat dengan adanya otoritas kampus sebaga.i kendala utama dalam penegakan
hukum ideal (seharusnya). Dimana pihak kepolisian selaku aparat hukum yang
berwenang menangani kasus ini justru dilarang turut campur oleh pihak
universitas dikarenakan terbenturnya peranan ideal kepolisian terhadap otoritas
kampus UKI. Tindakan kampus UKI untuk menolak ikut campurnya Polisi dalam
penanganan tawuran di wilayahnya tersebut dikarenakan UKI memiliki keamanan
kampus sendiri, serta memiliki badan khusus bernama "komisi Disiplin" (dewan
kehormatan kampus) yang bertugas untuk memproses segala bentuk tindakan
yang dianggap telah menganggu ketertiban dan keamanan intern kampus, serta
memiliki kewenangan dalam penetapan kebijakan berupa penjatuhan
sanksi/hukuman bagi para pelaku dilingkungannya. Badan ini dibentuk sebagai
perwujudan dari otoritas dan kemandirian di tubuh kampus UKI. Mahasiswa yang
terlibat tawuran dari Universitas (DO/drop-out) . Sanksi tersebut dilakukan karena
Komisi Disiplin UKI tidak memiliki kewenangan untuk memenjarakan seseorang.
Dimana pada satu sisi ia melindungi dan pada sisi yang lain ia mengancam
kebebasan umat manusia. Bahkan terbdang justru hukum pidana itu melanggar
hak-hak asasi manusia. Seperti halnya pengambilan hak hidup secara paksa oleh
negara berupa pidana mati ataupun termasuk pelanggaran kepada kebebasan dan
privasi dari wilayah kampus, jika memang itu tergolong kedalam sebuah
pelanggaran etika. Tidak dapat diterapkannya pasal 170 Kitap Undang-Undang
Hukum Pidana karena terhadang dengan peraturan kampus sehingga pasal yang
terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikesampingkan (derogasi).
Pengenyampingan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berakibat
negatif dari penegakan hukum itu sendiri sehingga tujuan hukum keadilan,
ketertiban, kepastian hukum dan kemanfaatan menjadi selogan biasa.