Abstract :
Adakalanya suatu perjanjian yang telah disepakati para pihak tidak da pat
dilaksanakan dengan sempurna karena ada pihak yang ingkar janji atau
wanprestasi. Akibat terjadinya wanprestasi tersebut kreditur dapat menuntut
pemenuhan perjanjian. Tuntutan tersebut dapat disertai ganti rugi atau tanpa ganti
rugi. Tuntutan atau permohonan ganti rugi dilaksanakan dengan cara-cara sesuai
kesepakatan para pihak. Dalam skripsi ini penulis mengangkat kasus
persengketaan antara PT Amarta Karya (Persero) dengan PT Caltex Pacific
Indonesia yang diselesaikan melalui peraturan prosedur BANI. Permasalahan
yang timbul dari: "Bagaimana bentuk perumusan permohonan ganti rugi akibat
wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Caltex Pacific Indonesia terhadap PT.
Amarta Karya (Persero )?" dan "Apakah putusan ganti rugi wanprestasi BANI
dalam perkara antara PT. Caltex Pacific Indonesia dengan PT. Amarta Karya
(Persero) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan Pengadilan
Negeri?". Adapun tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui dan
memberikan gambaran bentuk perumusan permohonan ganti rugi akibat
wanprestasi yang dilakukan PT Amarta Karya (Persero) pada BANI dan untuk
mengetahui apakah putusan ganti rugi wanprestasi BANI dimaksud mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan putusan Pengadilan Negeri. Manfaat yang
hendak diperoleh adalah untuk memberikan informasi kepada para pengusaha
atau pelaku bisnis dan masyarakat mengenai perumusan permohonan ganti rugi
akibat wanprestasi yang dilakukan oleh perusahaan dan mengenai kekuatan
hukum putusan BANI serta memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
perkembangan hukum perdata formil dan materiil berkaitan dengan bentuk ganti
rugi dan cara pengajuannya. Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian
yuridis normatif, berdasarkan kajian kepustakaan dan bahan-bahan hukum terkait
lainnya. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa perumusan permohonan ganti
rugi akibat wanprestasi yang diajukan oleh PT Amarta Karya (Persero) (sebagai
Pemohon) terhadap PT Caltex Pacific Indonesia (sebagai Termohon) terkait
sengketa eskalasi proyek Road Improvement and Maintenance at Bekasap SBU
melalui peraturan prosedur BANI sudah sesuai dengan kesepakatan kedua pihak
seperti tertuang di dalam Kontrak Konstruksi proyek tersebut. Hal ini sesuai
dengan asas Pactum de Compromintendo dan kenyataannya Putusan Arbitrase
BANI tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan Putusan Pengad ilan
Negeri. Untuk itu penulis menyarankan sudah saatnya lembaga pembuat UndangUndang
menyusun suatu KUH Perdata yang khas Indonesia sehingga beragarnnya
penafsiran tentang wanprestasi dapat diminimalisir serta penggunaan BANI dalam
penyelesaian sengketa haruslah lebih digalakkan sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa. Khusus berkenaaan dengan pasal 59 UU No.30/ 1999
tentang Arbitrase dapat direvisi/dihapus sehingga kekuatan hukum putusan
Arbitrase setara dengan putusan Pengadilan Negeri.