DETAIL DOCUMENT
Hubungan manajemen konflik dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro / Dwi Astutik
Total View This Week0
Institusion
Universitas Negeri Malang
Author
Astutik, Dwi
Subject
 
Datestamp
2008-09-09 03:00:25 
Abstract :
ABSTRAK Kata kunci manajemen konflik kepuasan perkawinan istri. Seorang istri dikatakan sudah mencapai kepuasan dalam perkawinan jika sudah mencapai sesuatu yang diharapkan dan diidealkan dalam perkawinan yang dirasakan oleh istri melalui aspek-aspek perkawinan. Bila istri tidak merasa puas akan pernikahan yang dijalani maka dapat berpengaruh pada cara pandangnya terhadap diri lingkungan maupun masa depannya juga terhadap kesehatan mentalnya. Ketidakpuasan dalam perkawinan berhubungan dengan konflik dalam rumah tangga sehingga pola manajemen konflik berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana pola manajemen konflik dan tingkat kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro. (2) Hubungan manajemen konflik withdrawing smoothing forcing compromising dan confronting dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan korelasional. Populasi penelitiannya seluruh istri usia perkawinan 1-5 tahun usia dewasa (20-40) tahun minimal pendidikan SMU di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro dengan jumlah 223 orang sedangkan sampel yang diambil berjumlah 70 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling dengan cara undian. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala manajemen konflik dan skala kepuasan perkawinan. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis korelasi Kendall-Tau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan manajemen konflik confronting (r 0 385 p 0 05) dan compromising (r 0 181 p 0 05) dengan kepuasan perkawinan yang berarti semakin tinggi skor manajemen konflik confronting dan compromising maka akan semakin tingginya tingkat kepuasan perkawinan. Berbeda dengan manajemen konflik smoothing (r -0 246) withdrawing (r -0 171) dan forcing (r -0 271). Variabel-variabel tersebut berhubungan negatif yang signifikan (p 0 05). Yang berarti bahwa semakin tinggi skor pada ketiga variabel maka semakin rendah kepuasan perkawinan subjek. Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang diberikan sebagai berikut 1) Istri diharapkan mengembangkan manajemen konflik confronting compromising dan meminimalkan penggunaan manajemen konflik smoothing withdrawing dan forcing. 2) Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan hasil peneltian ini sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian kepuasan perkawinan dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda. Bagi perempuan Indonesia menikah adalah hal yang sarat berbagai nilai yang telah lama ada dikondisikan budaya patriarki. Kondisi budaya agama dan lingkungan sekitar membuat perempuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Karena jika tidak akan muncul labbelling bagi perempuan yang dalam kategori cukup umur dan belum menikah. Salah satu contoh pelabelan yang seringkali didengar untuk karakteristik perempuan yang belum menikah adalah perawan tua (Kartika 2002 57). Dalam budaya patriakis seperti Indonesia menikah memang tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial bagi diri perempuan. Tetapi lebih jauh dari itu ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan keputusan untuk menikah atau tidak menikah. Kebanyakan orang beranggapan bahwa menikah adalah suatu hal yang membahagiakan. Selain juga agar perempuan tersebut kelihatan menjadi perempuan yang sempurna (Kartika 2002 57). Wanita yang masuk dalam lembaga perkawinan akan muncul deretan pekerjaan yang berjudul melahirkan mengurus anak suami dan rumah tangga yang sudah menanti. Umumnya tanpa disadari baik istri maupun suami tugas-tugas tersebut akan mengikat badan hati dan pikiran wanita sejak bangun pagi hingga malam hari (Ratih 2002 47) Sejumlah kisah tentang perempuan dalam perkawinan setidaknya didominasi oleh ilustrasi yang menunjukkan kuatnya superioritas laki-laki atas inferior wanita. Ada banyak kedudukan wanita yang tidak berdaya dalam menghadapi perkawinan baik secara fisik maupun psikologis (Subiantoro 2002 9). Kedekatan yang penuh cinta dan saling memahami diperlukan dalam membina suatu hubungan terutama hubungan dalam sebuah ikatan perkawinan. Kebahagiaan dan kepuasan dalam perkawinan yang ingin dicapai oleh setiap pasangan tidak muncul dengan sendirinya harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua pasangan (Munandar 2001 65). Terdapat perbedaan gender dalam hal kepuasan perkawinan. Pada umumnya istri memiliki kepuasan perkawinan lebih rendah dibandingkan dengan suami. Studi Bell (dalam Desmita 2007 246) menunjukkan bahwa wanita yang menikah mengalami frustasi tidak puas dan tidak bahagia yang lebih besar dibandingkan dengan pria. Lebih lanjut penelitian Rubin (dalam Desmita 2007 246) melaporkan bahwa keluhan umum yang disampaikan wanita dalam suatu perkawinan adalah bahwa suami tidak peduli pada kondisi emosionalnya dan tidak meng 

Institution Info

Universitas Negeri Malang