DETAIL DOCUMENT
PENGARUH PEMBERIAN BAKLOFEN SEBAGAI AGONIS RESEPTOR GABA (B) TERHADAP PERKEMBANGAN NYERI KRONIK PADA MENCIT
Total View This Week0
Institusion
Universitas Airlangga
Author
Wulansari, Nofitri, NIM. 050312733
Subject
RC0321 Neuroscience. Biological psychiatry. Neuropsychiatry 
Datestamp
2017-06-05 20:05:11 
Abstract :
Penelitian untuk menguji pengaruh pemberian baklofen sebagai agonis reseptor GABA (B) terhadap perkembangan nyeri kronik pada mencit dilakukan dengan memberikan baklofen secara intratekal. Nyeri kronik dapat berupa nyeri neuropati maupun nyeri inflamasi. Pada kedua nyeri tersebut penggunaan opioid maupun anti inflamasi nonsteroid (NSAID) masih kurang efektif dalam mengatasi nyeri sehingga masih diperlukan penelitian untuk mendapatkan alternatif terapi nyeri kronik yang efektif. Telah diketahui beberapa faktor yang terlibat pada penghantaran nyeri, termasuk didalamnya pelepasan asam amino glutamat pada daerah dorsal horn korda spinalis. Pelepasan glutamat ini dapat dihambat oleh interneuron GABA. Namun pada nyeri kronik terjadi kematian interneuron GABA sehingga terjadi disinhibisi pelepasan glutamat. Dengan memberikan suatu agonis GABA maka diharapkan dapat mengaktifkan interneuron GABA sehingga dapat menjalankan fungsi inhibisinya. Pengujian efek antihipemlgesia dilakukan dengan metode rangsangan panas yaitu Hot Plate Test. Untuk membuat keadaan nyeri neuropati dilakukan dengan pengikatan saraf skiatik, sedangkan keadaan nyeri inflamasi dilakukan dengan injeksi complete Freund 's adjuvant (CFA) secara intraplantar. Pada model neuropati dan nyeri inflamasi, nyeri kronik timbul pada hari ke-7 setelah ligasi/injeksi, ditandai dengan adanya perbedaan waktu ketahanan terhadap stimulus panas secara bermakna antara kelompok ligasi/injeksi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0.001). Penurunan waktu ketahanan terhadap stimulus panas menunjukkan terjadinya gejala hiperalgesia yang merupakan tanda berkembangnya keadaan neuropati. Selanjutnya diberikan baklofen secara intratekal selama 7 hari berturut¬turut setelah ligasi/injeksi. Pada penelitian ini digunakan dosis baklofen sebesar 1, 10 dan 30 nmol. Pengamatan terhadap rangsangan panas dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 14 dan 21. Selain pengamatan pada respon terhadap rangsangan panas, juga dilakukan pengamatan terhadap tebal plantar pada kelompok model inflamasi yang diukur pada hari ke-0, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 14, 15 dan 21 serta pengamatan perkembangan neuropati dilihat pada hari ke-21 dengan metode sensitisasi hind paw terhadap pergerakan. Pada keadaan neuropati, pemberian intratekal baklofen dosis 1, 10 dan 30 nmol menunjukkan peningkatan waktu ketahanan terhadap rangsangan panas dibanding kelompok NS (p=0.021; 0.010; 0.028; berturut-turut untuk baklofen 1, 10, dan 30 nmol). Peningkatan waktu ketahanan terhadap rangsangan panas menunjukkan bahwa pemberian baklofen menghasilkan efek pengurangan keadaan hiperalgesia. Pemberian baklofen 30 nmol secara intratekal pada kelompok mencit model inflamasi menghasilkan peningkatan waktu ketahanan terhadap rangsangan panas dibanding pada kelompok NS ( p=0.001). Sedangkan baklofen dosis 1 dan 10 nmol menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna (p=0.296; p=0.150 berturut?turut untuk baklofen 1 dan 10 nmol). Peningkatan waktu ketahanan terhadap rangsangan panas menunjukkan pemberian baklofen menghasilkan efek pengurangan keadaan hiperalgesia. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian baklofen secara intratekal berpengaruh terhadap perkembangan nyeri kronik baik inflamasi maupun neuropati dengan menghasilkan efek pengurangan keadaan hiperalgesia. 
Institution Info

Universitas Airlangga