Abstract :
Perlakuan superovulasi bertujuan menstimulasi proses biologis rekrutment
banyak folikel untuk tumbuh, berkembang, matang dan diakhiri dengan ovulasi.
Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut diharapkan dapat difertilisasi untuk
memperoleh banyak embrio yang layak transfer dan jika ditansfer ke resipien akan
memberikan angka kebuntingan yang tinggi (Bo? et al. 2002). Pelaksanaan
superovulasi secara tradisional dilakukan dengan penyuntikan hormon Follicle
Stimulating Hormone (FSH) pada pagi dan sore selama 3 ? 4 hari dengan dosis
menurun untuk menstimulasi perkembangan folikel (Mapletoft dan Bo, 2012;
Martins et al. 2012). Secara kimiawi FSH sapi merupakan glikoprotein dengan
berat molekul (BM) 37.300, terdiri atas subunit alfa (BM 12.600) dan subunit beta
(BM 18.500). Hormon FSH memiliki waktu paruh biopotensi yang pendek
sehingga umumnya perlakuan penyutikan FSH secara intramuskuler dilakukan
secara berulang untuk menimbulkan efek superstimulasi pertumbuhan folikel pada
sapi (Baruselli et al. 2006).
Metode konvensional (intramusculer) penyuntikan berulang FSH, sangat
membutuhkan waktu (time consuming), dan dapat menyebabkan stress yang dapat
memberikan dampak negatif terhadap donor, oleh karena itu penelitian banyak
dilakukan untuk mengurangi frekuensi penyuntikan melalui pencampuran FSH
dengan media pembawa seperti polyvinylpyrrolidone (Suzuki et al. 1994), gel
aluminium hidroxida (Yoshioka et al. 2008; Kimura et al. 2007) atau dengan media
slow release formulation (Tribulo et al. 2012). Campuran FSH dan media pembawa
tersebut disuntikan dengan dosis tunggal secara intramuskuler telah dilaporkan
menghasilkan respons superovulasi yang tidak berbeda dengan protokol
superovulasi konvensional (intramusculer). Demikian pula Hiraizumi (2015) dan
Junaedi (2016) yang melaporkan penyuntikan FSH via subkutan dengan
memanfaatkan deposit lemak di bawah kulit juga menghasilkan respons
superovulasi pada sapi potong.
Aplikasi FSH melalui rute subkutan dilaporkan oleh Hiraizumi (2015) dan
Junaedi (2016) penyuntikan dengan rute subkutan dimaksudkan memanfaatkan
lemak dibawah kulit sebagai bahan depo untuk FSH agar dapat melepas FSH dalam
jangka waktu yang cukup panjang dan dapat menstimulasi folikel terus menerus
selama 4 ? 5 hari. Junaedi (2016) mengemukakan metode penyuntikan via subkutan
memberikan respon superovulasi yang lebih baik dibandingkan dengan metode
penyuntikan secara konvensional (intramuscular).
Penelitian ini menggunakan sapi donor Limousin sebanyak 8 ekor yang
berumur antara 4 ? 5 tahun, masing-masing perlakuan menggunakan 4 ekor sapi,.
Bahan lain dan media yang digunakan yaitu preparat progesteron (Cue-Mate® -
Bionice Animal Health), Follicle Stimulating Hormone (Folltropin-V® -
Vetaquinol N-A, Inc), Prostaglandin F2? (Lutalyse® - Zoetis CA), gel isotonik,
iodine povidone, media Lactated Ringer, antibiotik Penisilin dan Streptomisin, calf
serum dan lidocaine HCL 2%. Peralatan yang digunakan sesuai dengan tahapan
pelaksanaan yaitu pemasangan preparat progesteron, superovulasi, inseminasi
buatan, koleksi embrio dan evaluasi embrio.
Analisis statistik untuk data respon superovulasi analisis dengan uji-T untuk
membandingkan respon kedua perlakuan superovulasi. Prinsip dari uji-T itu adalah
membandingkan data hasil observasi dengan nilai yang diharapkan. Perbedaan
tersebut dilihat dari nilai T-test sama atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan pada
taraf signifikan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah CL,
jumlah embrio terkoleksi, embryo recovery rate, embrio layak transfer, dan embrio
tidak layak transfer.
Secara deskriptif jumlah corpus luteum (20,75±2,17), jumlah perolehan
embrio (19,5±2,29), embrio layak transfer (12,75±4,26) dan tidak layak transfer
(6,75±4,32) memberikan hasil yang lebih besar pada perlakuan penyuntikan secara
subkutan. Namun persentase embrio recovery rate lebih rendah (93,97%)
dibandingkan penyutikan FSH intramuskular dosis menurun (94,73%). Secara
statistik terlihat nyata perbedaan produksi embrio dari dua perlakuan baik dari segi
jumlah maupun kualitas embrio yang diperoleh
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penyuntikan subkutan dapat
digunakan untuk tujuan superovulasi dan menghasilkan embrio dengan jumlah dan
kualitas yang setara dengan protokol superovulasi konvensional intramuskular.
Penyuntikan tunggal FSH secara subkutan mengurangi frekuensi penyuntikan dan
sapi tidak stress serta mudah di handling