Institusion
Universitas Islam Sultan Agung
Author
Hani Subagio (STUDENT ID : 10301700190)
Gunarto Gunarto (LECTURER ID : 0605036205)
Agus Pandoman (LECTURER ID : 0510105801)
Subject
K Law (General)
Datestamp
2022-01-07 07:03:09
Abstract :
Membuat sebuah merek, baik untuk usaha dagang maupun produk,
sebenarnya tidak terlalu sulit. Semua orang bisa memberikan nama atau sebutan
atau merek yang mudah diingat atau enak didengar atau merek yang khas atau
khusus. Karena terlalu sibuk dengan produksi dan membangun merek, seringkali
pemilik merek menganggap bahwa perlindungan merek dengan mendaftarkan
merek ke Direktorat Merek, belum perlu, mungkin karena alasan biaya
pendaftaran atau kerumitan dalam pendaftaran. Sampai suatu saat produk berhasil
diterima pasar, merek sudah terkenal, dan tiba-tiba ada orang lain yang
mendaftarkan merek tersebut, tentunya dengan itikad tidak baik. Sebagaimana
yang terjadi dengan kasus sengketa merek Tancho, Aqua, Ayam Geprek Bensu,
dan terbaru sengketa Tempo Gelato. Berlakunya Undang-undang nomor 20 tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis masih belum/tidak memberikan
kepastian hukum, kemanfaatan dan keaadilan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah dan menganalisa pengaturan
mengenai pendaftaraan mereknya serta sanksi aatas pelanggarannya; menelaah
dan menganalisa faktor-faktor yang merupakan kelemhaan dalam Undang-undang
merek; serta merekonstruksi pengaturan sanksi yang berbasis nilai-nilai keadilan.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode
pendekatan menggunakan yuridis empiris, serta analisis data menggunakan
analisis deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sistem pendaftaran merek yang
berlaku saat ini, dengaan menggunakan asas konstitutif (first to file), seringkali
dimanfaatkan oleh pihak yang tidak beritikad baik untuk mendaftarkan merek
yang sudah ada terlebih dahulu atau merek milik orang lain. Hanya dengan
mendaftarkan merek tersebut ke Direktorat Merek, maka pemilik merek memiliki
hak istimewa dan dilingdungi oleh hukum. Hal ini menyimpang dari tujuan
diaturnya hak kekayaan intelektual. Pengaturan hak kekayaan intelektual
berharaap menjaadikan masyarakat tidak berani menjiplak/meniru karya orang
lain agar mau menciptakan karya sendiri, maka masyarakat menjadi cerdas,
sehingga apabila cerdas akan diciptakan banyak karya, semakin banyak karya
maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Inilah titik kelemahan dari
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016, karena orang yaang lebih berhak tidaak
mendapat perlindungan, atau karena terlalu sempitnya pengaturan sehingga
menghambat kretivitas masyarakat dalam mengembangkan karya
intelektualitasnya.
Rekonstruksi hukum yang akan disarankan adalah pengaturan tentang
sistem pendaftarannya, serta pengaturan tentang sanksinya. Sehingga diharapkan
pengaaturan tentang merek lebih berbasis kepada nilai-nilai keadilan.
Kata Kunci: Pendaftaran Merek, Konstitutif, Keadilan