Abstract :
Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur batasan mengenai alat bukti dan keterangan saksi. Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah memperluas makna dari keterangan saksi menjadi saksi yang tidak harus mendengar, melihat, dan mengalami langsung suatu peristiwa pidana. Namun, hal tersebut masih menunjukan ketidakjelasan mengenai keterangan saksi Testimonium De Auditu, sehingga menimbulkan perbedaan presepsi bagi aparat penegak hukum dalam beracara pidana.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana kekuatan keterangan saksi dalam putusan nomor 36/Pid.Sus/2023/PN lbb. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan keterangan saksi Testimonium De Auditu dan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus tindak pidana asusila berdasarkan keberadaan keterangan saksi Testimonium De Auditu dalam proses pembuktian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan kasus (Case Approach). Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Data yang digunakan bersumber dari Undang-undang, jurnal, buku, dan bahan hukum lain yang relevan pada penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan Testimonium De Auditu dalam KUHAP hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan sebagai petunjuk dan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 hanya dijadikan pedoman saja bagi hakim. Akan tetapi dalam kasus ini, keberadaan Testimonium De Auditu tidak dapat dijadikan alat bukti petunjuk dimana hakim dalam menilai dan mengonstruksikan penggunaan Testimonium De Auditu disesuaikan dengan ketentuan yang ada pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).