Abstract :
ABSTRAK
Hasil perubahaan UUD 1945 masih menyisakan banyak perdebatan bagi peneliti dan
pengkaji hukum tata negara di Indonesia. Salah satunya adalah makna perbuatan tercela
sebagai salah satu alasan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perdebatan itu
lebih terfokus pada rumusan frasa yang dihasilkan serta makna konstitusional perbuatan
tercela yang masih kabur/ambigu. Berdasar hal itu, maka dirumusankan permasalahan,
yakni: (1) Mengapa perbuatan tercela dapat dijadikan sebagai dasar pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya? (2) Bagaimanakah makna
konstitusional perbuatan tercela yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945? (3) Bagaimana
konsep kepastian hukum terhadap pembatasan makna perbuatan tercela yang terdapat
dalam Pasal 7A UUD 1945? Dengan menggunakan penelitian hukum normatif dengan
pendekatan konsep hukum, undang-undang serta sejarahnya dan komperatif, ditambah
penafsiran konstitusi, didapatkan hasil sebagai berikut: (1) Perbuatan tercela dijadikan
sebagai alasan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah karena Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus berkerja dan bertangung jawab berdasarkan pada dengan
nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945, karena itu batu uji perbuatan/perilaku tercela
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah UUD 1945, agar mendapatkan kepastian hukum
dalam sistem presidensial di Indonesia. (2) Makna konstitusional perbuatan tercela
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Pasal 7A UUD 1945 adalah perbuatan yang
melanggar atau tidak memenuhi sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden,
pelanggaran sumpah/janji ini juga telah memiliki nilai ketercelaan yang universal baik
dalam agama, adat, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana,
maupun hukum perdata yang diakui di Indonesia. Makna perbuatan tercela sebagai
pelanggaran sumpah/janji Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam disertasi ini sekaligus
memperkuat rumusan Pasal 9 Ayat (1) UUD
1945; (3) Pembatasan makna perbuatan tercela dalam Pasal 7A UUD 1945 sebagai bentuk
perbuatan pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, melalui undang-undang, yang
dilakukan dengan metode dan berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik; Kedua, jika kasus pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dengan alasan melakukan perbuatan tercela terjadi, akan tetapi undang-undang
yang membatasi makna perbuatan tercela tersebut belum ada, maka hakim Mahkamah
Konstitusi dapat melakukan pembatasan makna perbuatan tercela tersebut melalui putusan
atas pendapat DPR dengan tetap berpedoman pada UUD 1945, khususnya Pasal
9 Ayat (1) UUD 1945, sebagai jaminan kepastian hukum dalam sistem presidensial di
Indonesia.
Kata Kunci: Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, Perbuatan Tercela,
Kepastian Hukum