Abstract :
Setiap kesenian tradisional dalam masyarakat Minangkabau memiliki tata cara
sendiri dalam pelaksanaannya yang diatur sesuai dengan nilai-nilai agama dan adat yang
melingkupi kehidupan masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Demikian
juga halnya dengan kesenian Batombe dalam masyarakat Nagari Abai Sangir. Di mana
ada tahapan-tahapan mengenai pelaksanaan kesenian tersebut serta ada juga pantangan
nya di setiap diadakannya kesenian ini.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk pelaksanaan
kesenian Batombe pada masyarakat Nagari Abai Sangir. Dan juga untuk melihat
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kesenian Batombe. Tipe penelitian ini adalah
kualitatif melalui pendekatan naturalistik dan bersifat deskriptif dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menjelaskan bagai mana tradisi Batombe tersebut dilaksanakan,
berdasarkan konsp Koentjaraningrat, yaitu Kebudayaan itu merupakan hasil dari proses
belajar. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan biasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Batombe merupakan sarana yang
digunakan oleh masyarakat Nagari Abai Sangir untuk memperkuat solidaritas sosial
mereka. Masyarakat Nagari Abai Sangir memiliki kesenian Batombe, sehingga dengan
terjaganya kesenian ini, maka akan menjaga solidaritas sosial masyarakat Nagari Abai
Sangir. Hal ini dibuktikan dengan beberapa sikap atau perilaku masyarakat terhadap
kesenian ini. Salah satunya yaitu jika masyarakat Nagari Abai Sangir dalam sebuah
upacara pernikahan ( Alek Gadang ) tanpa adanya undangan ataupun pemberitahuan
sebelumnya maka mereka akan datang dengan sendirinya untuk ikut dalam kesenian
Batombe. Apabila dalam melakukan kesenian Batombe tidak disertai dengan
penyembelihan kerbau atau pun sapi setidaknya harus menyembelih seekor kambing,
maka pihak yang mengadakan kesenian ini akan mendapatkan sanksi sosial berupa
pengucilan dari suku dan juga bisa berupa pemberian ternak kepada setiap datuk atau
kepala suku yang ada didalam nagari.
Selain itu dari hasil penelitian ini bahwa faktor ekonomi adalah faktor terbesar
yang membuat kesenian Batombe hanya dapat di tampilkan dalam upacara perkawinan
alek Gadang, sebab kesenian Batombe telah digunakan untuk mengundang masyarakat
seluruh nagari untuk hadir dalam alek tersebut. Larangan atau pembatasan ruang
lingkup penampilan kesenian Batombe yang dilakukan oleh para datuk/ ketua adat
menghambat perkembangan dari kesenian ini.
Key words:Tradisi, kesenian, Batombe