Abstract :
Peralihan hak atas tanah secara detail diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang mewajibkan pembuatan akta tanah melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terlebih dahulu. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 ayat 1 PP 37 Tahun 1998).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perjanjian jual beli tanah yang tidak sesuai dengan KUHPerdata maupun UUPA dan untuk mengetahui akibat hukum dari perjanjian jual beli tanah yang tidak sesuai dengan KUHPerdata maupun UUPA. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT adalah sebagai berikut: (1) adanya suatu situasi yang mengharuskan PPAT untuk melakukan pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT, yang diperlukan guna untuk menyelamatkan suatu transaksi jual beli, (2) terdapat rasa saling percaya yang sangat tinggi di antara sesama PPAT dan antara para pihak dengan PPAT (3) faktor waktu dan kesibukan dari para pihak sehingga menyebabkan PPAT menyesuaikan diri dengan waktu dan kesibukan para pihak, (4) alasan untuk efisiensi waktu bagi para pihak, (5) faktor besarnya nilai transaksi jual beli yang dilakukan oleh para pihak sehingga PPAT bersedia untuk mengikuti kemauan para pihak, (6) faktor relasi dan pertemanan, (7) faktor yang disebabkan oleh adanya permintaan dari para pihak. Akibat hukum dari akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT tersebut adalah sebagai berikut: (1) PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, (2) secara formalitas akta tersebut tetap akta otentik dan pelaksanaan pendaftaran tanahnya dapat tetap diproses di Kantor Pertanahan, (3) jika timbul sengketa dan para pihak yang berkepentingan dapat membuktikan bahwa akta tersebut telah dibuat dengan tanpa memenuhi satu atau beberapa tata cara pembuatan akta PPAT maka akta terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan, (4) para pihak atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat memanfaatkan keadaan ini, misalkan pihak ketiga tersebut akan mengajukan gugatan akan tetapi terbentur oleh adanya akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (hanya satu bukti cukup sebagai dasar pemutus perkara).