Institusion
Universitas Katolik Darma Cendika
Author
Prasetiyawati, Yusiana Eka
Subject
K Law (General)
Datestamp
2021-03-02 14:09:00
Abstract :
Justice collaborator adalah seseorang tersangka namun bukan pelaku utama dan dapat
membongkar kejahatan orang yang berada diatasnya. Justice collaborator bekerjasama
dengan aparat penegak hukum dapat mengungkap kejahatan atas kesaksian yang
diberikan. Di Indonesia peraturan mengenai justice collaborator diatur dalam UndangUndang
Nomor 31
Tahun
2014
tentang
Perubahan
atas
Undang-Undang
Nomor 13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan
Saksi
dan
Korban,
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 9
Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana
(whistleblower
) dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama
(justice collaborator
) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
dan Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor: PER045/A/JA/12/2011,
Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4
Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelaporan dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama. Permasalahan yang kemudian muncul adalah semua peraturan tersebut
tidak ada yang membahas mengenai siapa yang berwenang untuk menentukan status
tersangka menjadi justice collaborator. Saksi pelaku harus memberikan keterangan yang
signifikan, relevan, dan andal yang dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan
kesaksiannya untuk mengungkap tindak pidana khusus. Pada tulisan ini akan membahas
mengenai legalitas atau dasar hukum kewenagan penegak hukum dalam menetapkan
seseorang menjadi justice collaborator. Contoh yang dapat diambil yaitu kasus yang
dialami oleh Rinelda Bandoso yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai justice collaborator namun pendapat berbeda diberikan oleh Hakim, sehingga
vonis yang diterima oleh Renalda tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Vonis yang
diberikan tidak sesuai dengan pemberian informasi yang diberikan kepada penegak
hukum untuk membongkar kasus tersebut. Jika hal tersebut terus terjadi maka akan terjadi
ketidaksesuaian antara pelaku yang kooperatif dengan reward yang diterimanya. Dalam
hal kekosongan hukum ini perlu dibuat suatu perbaikan hukum
(legal reform
).
Pembahasan dari sisi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban juga
terdapat dalam tulisan ini, agar terdapat gambaran mengenai Ius Constitutum
(hukum
yang berlaku di masa sekarang
) dan Ius Constituendum
(hukum yang dicita-citakan).
Perbaikan hukum yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penambahan pasal
yang mencantumkan pihak yang berwenang untuk menetapkan pelaku menjadi justice
collaborator. Perbaikan hukum lainnya yaitu dengan menambahkan syarat pemberian
saksi yang diberikan kepada penegak hukum dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal tersebut bertujuan untuk penentuan reward
yang diberikan, dengan demikian perbaikan hukum tidak menimbulkan multitafsir
kembali oleh penegak hukum dan masyarakat, kewenangan tersebut juga harus diakui
oleh instansi yang lain sehingga memiliki keterkaitan dalam penyelesaian sebuah perkara
tindak pidana khusus, sehingga dapat tercapai tujuan awal dari pembuatan peraturan
hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.