Abstract :
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang dialami dunia saat ini. Kemiskinan
merupakan masalah yang kompleks dan melibatkan banyak dimensi baik dari sisi penyebab
maupun dari dampak yang ditimbulkan. Karena sangat kompleks dan bersifat
multidimensional, maka sangat dibutuhkan penanganan serius dari semua pihak termasuk
Gereja. Gereja sebagai mandataris Tuhan di tengah dunia dituntut untuk dapat berperan
dalam membantu mengatasi kemiskinan. Gereja dipanggil untuk bersolider dengan kaum
miskin.
Solidaritas Gereja terhadap kaum miskin dapat mengambil model ulasan Injil Lukas
yang menampilkan pribadi Yesus yang begitu dekat dan akrab dengan orang-orang miskin,
tertindas dan terpinggirkan. Penginjil Lukas menampilkan keberpihakan Yesus kepada kaum
miskin dan kelompok-kelompok yang dipinggirkan dan diasingkan dari masyarakat. Karena
itu, Injil Lukas sering disebut sebagai Injil kaum marginal karena memberikan gambaran
yang luar biasa tentang keberpihakan dan solidaritas Yesus kepada kaum marginal. Dalam
keseluruhan Injil Lukas, teks Luk. 3:10-20 dipilih sebagai teks yang paling relevan dan
inpiratif bagi Gereja untuk menjalankan karya pastoral yang berpihak dan bersolider dengan
kaum miskin. Solidaritas yang diangkat dalam teks ini memiliki kaitannya dengan pertobatan.
Yohanes Pembaptis mengemukakan bahwa solidaritas terhadap kaum miskin sebagai jalan
untuk mewujudkan pertobatan. Pertobatan tidak hanya sebatas niat dan mengakui segala
dosa, tetapi harus diwujudnyatakan dalam tindakan konkret yakni bersolider dengan kaum
miskin. Dalam kaitan dengan solidaritas terhadap kaum miskin sebagai wujud pertobatan,
Yohanes Pembaptis mengemukakan tiga tindakan penting yakni berbagi makanan dan
pakaian, jangan memeras dan jangan merampas. Tiga tindakan yang dikemukakan Yohanes
Pembaptis menjadi inspirasi bagi Gereja dan para pelayan pastoral dalam menjalankan karya
pastoral demi membawa pembebasan dan keselamatan bagi kaum miskin.
Dari uraian eksegetis dalam Luk. 3:10-20, ada dua pesan teologis yang penting dan
relevan dengan perwujudan solidaritas Gereja. Pertama, solidaritas terhadap kaum miskin
sebagai wujud pertobatan. Kedua, aktus ?membagi? sebagai bentuk konkret solidaritas
terhadap kaum miskin. Kedua pesan ini menjadi semangat dasar dan juga sebagai inspirasi
bagi karya pastoral Gereja ketika berhadapan dengan situasi kemiskinan yang dialami umat.
Karya pastoral Gereja yang dijalankan harus benar-benar membawa pembebasan bagi kaum
miskin. Kaum miskin sangat membutuhkan kehadiran Gereja yang mau bersolider dan
membantu mereka untuk keluar dari belenggu penderitaan. Karya pastoral Gereja harus
berfokus pada pembebasan dan keselamatan orang-orang miskin.
Gereja harus menjadikan option for the poor sebagai opsi utama solidaritas Gereja.
Option for the poor mesti menjadi misi yang menjiwai Gereja dalam karyanya di dunia.
Pilihan untuk berada bersama kaum miskin adalah pilihan Yesus yang diwariskan kepada
setiap orang yang mengikuti-Nya. Maka itu, Gereja perlu mempertahankan identitasnya
sebagai Gereja kaum miskin, mengakomodir semua kepentingan dan kebutuhan kaum
miskin. Gereja harus menjadikan setiap usaha menyelamatkan dan membebaskan kaum
miskin sebagai salah satu fokus dari karya misinya.
Pertanyaan orang banyak, para pemungut cukai dan para prajurit, apa yang
harus kami perbuat? (Luk. 3:10), hendaknya juga menjadi pertanyaan yang dilontarkan
Gereja berhadapan dengan situasi kemiskinan. Yang harus Gereja perbuat adalah Gereja
harus bersolider dengan kaum miskin. Solidaritas Gereja terhadap kaum miskin tidak hanya
sebatas seruan profetis, tetapi harus diwujudnyatakan dalam tindakan konkret. Bentuk
konkret solidaritas Gereja tampak dalam model pelayanan sosial-karitatif, pelayanan
reformatif dan pelayanan tranformatif. Ketiga bentuk pelayanan ini dapat dianalogikan
demikian: Pelayanan karitatif dapat dianalogikan seperti pelayanan memberikan ikan kepada
orang yang lapar, sedangkan pelayanan reformatif adalah pelayanan memberikan alat pancing
dan mengajar seseorang untuk memancing. Maka, pelayanan transformatif digambarkan
sebagai pelayanan yang mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk
berjalan. Jika, Gereja mampu menjalankan semua ini secara baik, maka secara perlahan
kemiskinan dapat dikurangi.