Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan korelasi antara gerakan
pembebasan dalam novel Tetralogi Buru dengan Teologi Pembebasan Amerika
Latin. (2) menemukan relevansi gerakan pembebasan dalam novel Tetralogi Buru
terhadap pengembangan Teologi Kontekstual di Indonesia. Pendekatan yang
dipakai adalah landasan konseptual Teologi Pembebasan. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan sumber data dari
dokumen tertulis (penelitian kepustakaan). Sumber data primer adalah novel serial
Tetralogi Buru. Sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen dan tulisantulisan
yang membahas novel Tetralogi Buru, pengarang Tetralogi Buru, dan
buku-buku tentang Teologi Pembebasan (Teologi Kontekstual).
Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik non-interaktif yang
meliputi analisis isi terhadap dokumen dan arsip. Langkah-langkahnya ialah: 1)
Membaca berulang-ulang novel serial Tetralogi Buru, 2) Mengumpulkan dan
mempelajari teori-teori yang relevan dengan tema penelitian, 3) Mencatat dan
menganalisis data berupa kutipan penting yang relevan dengan permasalahan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis model mengalir.
Langkah-langkah teknik analisis model mengalir adalah sebagai berikut:
mengumpulkan data, mereduksi data, display data, dan menarik kesimpulan akhir.
Dewasa ini, fakta penderitaan manusia tidak hanya dimuat di dalam ilmuilmu
sejarah, museum, atau monumen peringatan. Penderitaan juga dilukiskan
melalui karya-karya seni, seperti karya sastra. Novel Tetralogi Buru adalah salah
satu karya sastra yang menampilkan realitas penderitaan. Tetralogi Buru terdiri
atas empat bagian, yakni: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan
Rumah Kaca. Tetralogi Buru bercerita tentang gerakan pembebasan atas berbagai
macam penderitaan untuk menjadi manusia merdeka. Gerakan pembebasan terjadi
oleh karena pengalaman penderitaan kolektif masyarakat. Penderitaan kolektif itu,
yakni: kemiskinan, penindasan, rasialisme, diskriminasi, eksploitasi sumber daya
dan manusia, komodifikasi tubuh, agresi militer, penganiayaan, pelanggaran
HAM, ketidakadilan hukum, buta huruf dan pengasingan. Penyebab penderitaan
itu adalah kolonialisme, feodalisme dan mentalitas buruk kaum pribumi.
Pengalaman penderitaan melahirkan kesadaran-kesadaran baru pribumi,
seperti: hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan, dan humanisme. Ketika
kesadaran-kesadaran itu dikonfrontasikan dengan penderitaan, maka gerakan
pembebasan semakin kuat dilakukan. Gerakan pembebasan itu, yakni: integrasi,
perlawanan massal, keberpihakan atas para penderita, emansipasi kemanusiaan,
advokasi hukum, menciptakan masyarakat egaliter dan demokratis, aksi mogok
massal (boycott), solidaritas, keterlibatan para korban, dan perjuangan tanpa
kekerasan. Gerakan itu pula disokong oleh media-media demokratis, seperti:
pendidikan, media massa (koran), organisasi, karya seni, sastra dan bahasa.
Hasil penelusuran atas novel Tetralogi Buru menyimpulkan dua hal
penting. Pertama, gerakan pembebasan dalam novel Tetralogi Buru sangat
korelatif dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin. Kaitannya, yakni:
penderitaan sebagai titik tolak gerakan, penekanan pada praksis, berorientasi
pembebasan utuh manusia, penggunaan metafora, dan tuduhan mengandung unsur
Marxisme. Walaupun korelatif dan paralel, kedua gerakan ini tetap memiliki
kekhasan masing-masing. Kekhasan itu terutama terdapat dalam metode yang
diterapkan, instrumen yang dipakai, dan konteks sosial masyarakat yang berbeda.
Kedua, Gerakan Pembebasan dalam novel Tetralogi Buru sangat relevan terhadap
pengembangan Teologi Kontekstual di Indonesia. Relevansinya adalah sebagai
berikut. (1) Gerakan pembebasan dalam Tetralogi Buru menjadi acuan dalam
perjuangan mengatasi penderitaan bentuk baru di Indonesia. (2) Tetralogi Buru
menggagas rekonstruksi sejarah. (3) Tetralogi Buru menyokong pengembangan
studi yang kompleks atas manusia Indonesia sebagai subjek dan objek Teologi
Kontekstual. (4) Tetralogi Buru mendorong gerakan emansipasi, humanisme, dan
pengakuan HAM di Indonesia. (5) Tetralogi Buru memacu partisipasi umat dalam
berteologi. (6) Tetralogi Buru mengilhami peralihan teologi: dari ‘teologi di
Indonesia’ menjadi ‘teologi (yang) Indonesia’. (7) Tetralogi Buru memacu
penggunaan karya sastra sebagai sarana berteologi di Indonesia.