Abstract :
Skripsi ini dilatarbelakangi dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian Air Susu Ibu Eksklusif ( PP ASI
Eksklusif) sebagai peraturan pelaksana pasal 128 Undang-undang nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan terkait hak bayi untuk menerima ASI. Dalam PP ASI
Eksklusif tersebut mengatur bahwa bagi setiap ibu yang berhalangan memberikan
ASI Eksklusif kepada bayinya untuk memberikan ASI eksklusif tersebut melalui
Donor ASI dimana hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya
hubungan sepersusuan yang secara tegas oleh Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) dan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sebagai penghalang perkawinan dan alasan batalnya perkawinan. Dalam PP
ASI Eksklusif tersebut dan peraturan lain yang bersangkutan tidak mengatur
terkait hal-hal yang dapat dijadikan bukti adanya hubungan sepersusuan. Selama
ini hakim dalam membuktikan hubungan sepersusuan menggunakan keterangan
saksi, namun dalam contoh kasus yang digunakan penulis, saksi yang dihadirkan
tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga permohonan pembatalan perkawinan
tersebut ditolak.
Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian terkait urgensi adanya
pengaturan persetujuan pendonor ASI sebagai bukti untuk mencegah perkawinan
sepersusuan dan mengkaji hal-hal yang perlu dibahas dalam pengaturan
persetujuan pendonor ASI kedepannya.Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan
Konseptual, dan Pendekatan Kasus. Adapun bahan hukum primer dan sekunder
penelitian ini, dianalisis menggunakan teknik analisis Intepretasi Gramatikal dan
Intepretasi Sosiologis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, ada beberapa alasan yang
menjadikan pengaturan persetujuan pendonor ASI sebagai bukti untuk mencegah
perkawinan sepersusuan urgen untuk diatur, karena berdasarkan contoh kasus
yang digunakan penulis, hakim dalam pembuktian pembatalan perkawinan
sepersusuan menggunakan keterangan saksi. Namun dalam putusan Pengadilan
Agama Pangkalan Kerinci Nomor :15/Pdt.G/2012/PA.Pkc saksi yang dihadirkan
pemohon bersifat testimoinum de auditu sehingga permohonan pembatalan
perkawinan sepersusuan tersebut ditolak dan perkawinan yang diduga sepersusuan
tersebut tetap berlangsung. Selain itu, pengaturan dalam PP ASI Eksklusif
tersebut belum sempurna karena tidak mengatur terkait hal-hal yang dapat
vi
dijadikan bukti adanya hubungan sepersusuan yang timbul akibat donor ASI dan
peraturan menteri yang dimaksud dalam pasal 11 ayat 4 PP ASI Eksklusif sebagai
pengaturan lanjut terkait donor ASI sampai saat penulis meniliti belum diatur.
Berdasarkan hal tersebut, pengaturan persetujuan pendonor ASI sebagai
bukti untuk mencegah perkawinan sepersusuan kedepannya harus dibuat dalam
bentuk surat pernyataan tertulis yang tidak hanya memuat identitas pendonor
dengan bayi penerima ASI saja melainkan memuat identitas suami pendonor,
orang tua pendonor, anak pendonor, saudara pendonor, Anak sesusuan baik
kandung, seayah ataupun seibu, dan identitas bayi lain yang sama-sama menyusu
dengan ibu pendonor. Selain itu juga mengatur bahwa instansi yang berwenang
mengawasi kegiatan donor ASI adalah Dinas Kesehatan baik tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota sehingga kedepannya aplikasi atau website penyedia jasa
donor ASI haruslah didasarkan pada izin dan pengawasan Dinas Kesehatan.