Abstract :
Korban pemerkosaan mengalami kehamilan tidak di kehendaki bukan hanya
mengalami penderitaan secara mental dan psikologi, juga harus mencari keadilan
dalam jalur hukum akibat aborsi yang dilakukan. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana secara tegas melarang segala bentuk pengguguran kandungan. Sedangkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan penegasan
pengaturan aborsi secara legal yaitu akibat kedaruratan medis dan kehamilan
sebagai dampak dari perkosaan. Pelaku aborsi akibat perkosaan tersebut masuk
dalam katergori perbuatan non hukum atau secara tegas diatur dalam Pasal 48
KUHP bahwa tidak seorang pun dapat dihukum oleh siapa pun yang
melakukan suatu tindakan karena ia dipaksa oleh suatu kondisi yang mendesak
(overmacht). HAM yang lebih mengkhususkan pada hak reproduksi perempuan
sebagai bagian dari hak asasi perempuan dijamin pemenuhannya dalam UUD NRI
jo. Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
menyatakan hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi hukum. Anak sebagai korban perkosaan
sekaligus pelaku aborsi yang didakwa dengan hukuman penjara akan berdampak
buruk terhadap pertumbuhan mental dan jiwa anak. Berdasarkan
pertanggungjawaban pidana yang dijelaskan dalam doktrin bahwa unsur yang
dilihat adalah kemampuan bertanggungjawab, adanya unsur kesalahan, tidak
adanya alasan pemaaf. Korban perkosaan sekaligus pelaku aborsi yang sudah jelas
merupakan korban malah mendapat perlakuan yang tidak adil saat mencari
keadilan, Seharusnya anak mendapatkan jaminan terhadap pertumbuhan secara
fisik, mental dan jiwa yang normal. Penyelesaian kasus terhadap anak korban
perkosaan sekaligus sebagai pelaku aborsi dengan melalui proses peradilan,
hasilnya akan memberikan cap negatif kepada anak sebagai narapidana yang bisa
berpengaruh buruk terhadap lingkungan masyarakat.